Selasa, 09 September 2008

ibadah yang ditolak Allah

Minggu pagi itu ada sebuah pemandangan aneh yang yang tidak pernah terjadi sebelumnya sejak gereja tersebut dimulai lebih dari 50 tahun lalu. Kira-kira 30 menit sebelum jam kebaktian biasanya berakhir, sekitar 400 orang tiba-tiba keluar dengan perlahan-lahan dari ruang kebaktian utama, dan dengan air muka yang kelihatan serius, tanpa berbasa-basi dengan satu sama lain, mereka keluar meninggalkan gereja menghilang pulang. Sementara sekitar 200 jemaat yang lain tetap didalam ruang ibadah mendengarkan kotbah yang rupanya masih belum selesai.
Pemandangan ini membuat para satpam gereja terheran-heran. Yang lebih heran adalah pemilik warung dan gerobak makanan kecil disekitar gereja, karena dagangan mereka yang biasa dikerubutin jemaat gereja hanya dilewati saja. Ada apa gerangan?
Rupanya dalam kotbahnya, si pendeta menyuruh jemaatnya untuk pulang saat itu juga. Sebagian besar menuruti hal tersebut. Teks kotbahnya diambil dari Matius 5:23-24:

"Sebab itu, jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu"

Amarah dan kebencian dalam hati kita membuat segala pujian, penyembahan, dan doa kita di Ibadah Minggu hanya naik sampai ke atap gereja. Tidak lebih dari itu. Karena Allah menolaknya. Yesus menegaskan prinsip bahwa rekonsiliasi harus mendahului ibadah. Bukan karena relasi dengan sesama lebih penting dibanding ibadah kepada Allah, tetapi karena keduanya saling terkait erat, dan tidak mungkin kita dapat menyembah Allah dalam 'roh dan kebenaran' bila ada hal yang belum kita bereskan dengan sesama kita. Yesus melihat hal tersebut begitu penting sampai Ia berkata, "STOP berdoa, STOP menyanyi, pergi dulu bereskan relasi dengan si A, baru balik berdoa dan menyanyi. Aku menunggumu kembali."
Ketaatan terhadap instruksi Yesus yang eksplisit ini lebih penting daripada ibadah itu sendiri, tidak peduli betapa merdu suara kita, betapa penuh hikmat isi doa kita, dan berapa besar uang persembahan kita. Alkitab mengajarkan prinsip ini ketika Saul yang tidak taat terhadap perintah Allah ditolak persembahan bakarannya. Melalui nabi Samuel, Allah menegur Daud, "Has the LORD as much delight in burnt offerings and sacrifices As in obeying the voice of the LORD? Behold, to obey is better than sacrifice, and to heed than the fat of rams." (1 Samuel 15:22).
Mengomentari bagian ini, Sinclair Ferguson menggarisbawahi bahwa Allah melihat rekonsiliasi ini sebagai sebuah hal yang important (ayat 23-24) dan urgent (25-26): "The illustration of the man in church underlines the necessity of reconciliation. The illustration of two men going to court underlines the urgency of reconciliation. Animosity is a time bomb; we do not know when it will `go off.' We must deal with it quickly, before the consequences of our bitterness get completely out of control."

Yang menjadi pertanyaan penting disini adalah apa yang dimaksud Yesus dengan "engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau." Apa sih 'sesuatu' tsb, apakah sebuah uneg-uneg, ganjalan, suara hati nurani? Dan apakah ini berarti kita harus berinisiatif untuk rekonsiliasi bila kita berada di pihak yang salah, yang telah menyakiti hati sesama kita dengan perkataan atau perbuatan kita?
Bagaimana kalau kita berada di posisi yang benar, yang disakiti? Bagaimana kalau orang tersebut memang super menjengkelkan, tidak masuk akal, mbo ceng lie? Apakah saya masih harus tetap rekonsiliasi.
Hal ini mengingatkan saya pada sebuah kasus dimana seorang pendeta menyuruh saya untuk minta maaf kepada seseorang untuk kedua kalinya, karena permintaan maaf saya yang pertama kali dianggap tidak tulus oleh orang tersebut. Saya memberitahu pendeta tersebut bahwa saya telah minta maaf dengan sungguh-sungguh dan tidak ada lagi perasaan mengganjal dalam hati saya, bahkan saat itu saya dan orang tersebut telah berdamai dengan baik.
Betapa kaget saya ketika pendeta tersebut lalu mengatakan bahwa kalau saya tidak minta maaf lagi kepada orang tersebut, saya melanggar perintah Yesus dan seluruh pelayanan dan ibadah saya tidak akan diterima Allah. Bahkan dia berkata jika saya tidak minta maaf lagi kepada orang tersebut (yang juga adalah seorang pendeta), itu berarti saya melawan seorang yang telah diurapi Allah. Lalu ia bercerita bahwa dulu ada orang yang berlaku sedemikian kepadanya, dan tidak lama kemudian yang satu usahanya bangkrut dan yang satu lagi kena penyakit.
Saya sedih sekali mendengar kalimat tsb keluar dari mulut seorang pendeta. Saya menjawab bapak pendeta tsb "Maaf pak, saya harap Bapak tidak mengutip ayat dengan sembarangan untuk menakut-nakuti orang agar melakukan suatu hal yang sesuai keinginan Bapak. Yang dimaksud Yesus dalam Matius 5:23-24 sangat berbeda dengan apa yang Bapak katakan. Saya telah melakukan tanggung jawab saya dihadapan Allah dengan minta maaf dan berdamai dengan orang tersebut. Tapi Allah tidak menjadikan hasil dari rekonsiliasi tsb sebagai tanggung jawab saya. Bagi saya, minta maaf lagi untuk ke-2, ke-3, ke-5 kalinya tidak ada masalah. Tapi kalau saya hanya minta maaf demi untuk memuaskan ego orang tersebut, bukankah justru saya sedang tidak bertanggung jawab terhadap Allah?"
Tujuan saya menceritakan pengalaman pribadi diatas adalah untuk menggarisbawahi betapa penting kita mengerti arti rekonsiliasi yang Yesus maksudkan disini. Ada dua hal yang menolong kita memahaminya:

1. Yesus tidak menjelaskan siapa pihak yang benar dan pihak yang salah dalam Mat 5:23-24.
Ia juga tidak memberikan indikasi apakah ini berlaku diantara orang Kristen saja atau termasuk orang non-Kristen. Dan saya kira Ia sengaja tidak melakukannya. Di beberapa ayat sebelumya Ia bersabda bahwa kita harus menjadi pembawa damai. Berdamai sebelum beribadah menjadi prinsip secara umum yang kita mesti terapkan dengan istri kita, suami kita, anak kita, mertua kita, tetangga kita, kolega kita, musuh kita (termasuk musuh bebuyutan kita).

2. Yesus sendiri dalam pelayanan-Nya didunia banyak membuat orang tersinggung dan marah.
Khususnya kepada orang Farisi dan ahli Taurat. Begitu tersinggung mereka sampai mereka ingin menyalibkan Dia. Namun apakah Yesus minta maaf kepada mereka? Tidak. John Piper mengomentari bagian ini dan berkata bahwa jika Ia melakukan itu, mungkin Ia tidak akan pernah sempat ke Synagogue karena ia perlu waktu banyak tiap hari minta maaf kepada satu per satu kepada orang banyak yang tersinggung mendengar kotbah-Nya. Yesus berkata murid-muridNya akan mengalami hal yang sama jika mereka setia mengikut Yesus Kristus. Kesetiaan kepada Kristus selalu mengundang oposisi dari dunia. Namun Ia tidak meminta mereka untuk minta maaf. Ia malahan berkata "Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat. Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di sorga, sebab demikian juga telah dianiaya nabi-nabi yang sebelum kamu" (Mat 5:11-12). Saat kita menegur orang lain, saat kita 'speak the truth in love', seberapa lembut dan hormat kita menyampaikannya, akan ada orang yang tersinggung dan tidak terima.

Berdasarkan dua point diatas, saya mengambil kesimpulan seperti berikut:

a. Kita tidak bertanggung jawab tentang uneg-uneg atau ganjalan yang terjadi antara kita dengan orang lain apabila itu terjadi karena ketaatan kita kepada Kristus dan kepedulian kita kepada orang tersebut, dan bila itu telah didahului oleh pergumulan doa dan air mata terhadap orang tersebut.

b. Diluar perkecualian tersebut, kita perlu aktif mengupayakan rekonsiliasi meski inisiatif tersebut hanya akan bertepuk sebelah tangan, meski kita akan dicuekin. Hasil rekonsiliasi itu Allah yang menentukan, dan bukan tanggung jawab kita. Kalau diterima, puji Tuhan kita berdamai dengan dia. Kalau tidak diterima, puji Tuhan karena kita mempertahankan hati nurani kita bersih dihadapan Allah (Amsal 4:23). Ibadah kita tidak akan terhalang karenanya, ini ditegaskan Paulus dalam Roma 12:18: “Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang!”.

Kiranya ibadah Anda dan saya naik ke tahta Allah sebagai persembahan yang harum bagi-Nya karena itu muncul dari jiwa yang hancur, hati yang patah dan remuk, ketika kita menyadari dosa kita kepada sesama dan mau taat berdamai dengannya, dan dengan demikian berdamai dengan Allah. Hati yang sedemikian Allah tidak akan pandang hina

Tidak ada komentar: