Selasa, 05 Agustus 2008

Berfikir dan pikiran

Apakah sebenarnya yang dimaksud dengan PIKIRAN itu? Serta membedakannya dengan hal-hal lain di luar pikiran. Pertanyaan ini sangat mendasar, dan telah menjadi bahan renungan manusia sejak ia mulai menyadari proses-proses batiniahnya. Jawabannya tidak mudah, karena sebagian besar didasarkan pada perenungan ke dalam diri sendiri (introspeksi). Di samping itu, jawabannya juga tidak lepas dari sistem konseptual (paradigma) yang mendasari ide-ide di dalamnya. Ditambah lagi kesimpangsiuran yang sering terjadi karena istilah-istilah yang sama sering digunakan dengan pengertian (definisi) yang berbeda-beda (berdasarkan paradigma mana yang dipakai).

Di sini akan disajikan bahasan mengenai 'pikiran' --atau lebih mendalam mengenai 'jiwa'-- dengan menggunakan definisi-definisi yang diterima dalam disiplin psikologi, filsafat (Barat), dan wacana keagamaan (Barat). Jiwa' (atau 'batin') dalam bahasa Inggris disebut mind. (rumah sakit jiwa = mental hospital; kesehatan jiwa = mental health) Jadi, apakah mind atau 'jiwa' ('batin') itu? Jiwa' atau 'batin' (mind) --menurut konsep Barat-- adalah kesatuan yang rumit dari daya-daya (faculties) yang terlibat dalam menyerap (perceiving), mengingat (remembering), mempertimbangkan (considering), menilai (evaluating) dan memutuskan (deciding). Jiwa' itu sendiri tidak dapat dilihat, diamati, atau diukur. 'Jiwa' dalam arti tertentu terlihat dalam kejadian-kejadian seperti pengindraan (sensations),penyerapan (perceptions), emosi (emotions), ingatan (memory), keinginan (desires), berbagai jenis penalaran (reasoning), dorongan (motives), pilihan (choices), sifat-sifat kepribadian (traits of personality), dan bawah-sadar (unconscious). Di dalam Encyclopaedia Britannica, 'jiwa' dibahas secara tersebar di dalam berbagai bab, yakni: secara filosofis dalam "Mind, Philosophy of"; secara ilmiah daya-daya jiwa (mental) dibahas dalam:
-
"Intelligence, Theory and Distribution of";
- "Learning, Animal";
- "Learning and Cognition, Human";
- "Memory";
- "Perception, Human";
- "Thought and Thought Processes".

Selain itu, konsep-konsep non-Barat tentang 'jiwa' dibahas dalam bab-bab tentang agama Timur yang bersangkutan (Hinduisme, Buddhisme, dsb). Sejauh 'jiwa' termanifestasi dalam fenomena yang dapat diamati, orang sering menganggap 'jiwa' adalah milik khas manusia. Namun, beberapa teori berpendapat bahwa 'jiwa' juga terdapat pada hewan-hewan lain selain manusia. Satu teori menganggap 'jiwa' sebagai sifat universal dari materi.Menurut suatu pandangan lain, mungkin ada 'jiwa-jiwa' yang lebih tinggi dari manusia (superhuman), atau ada "jiwa absolut" yang tunggal, suatu "kecerdasan transenden". Ada beberapa asumsi yang harus diambil untuk bisa membahas konsep 'jiwa':

(1) Pertama, asumsi tentang 'pikiran' (thought) atau 'berpikir' (thinking). Jika tidak ada bukti tentang 'pikiran' di dunia ini, maka 'jiwa' tidak punya arti. Kesadaran akan fakta ini sepanjang sejarah menyebabkan timbulnya berbagai teori tentang 'jiwa' yang beraneka ragam. Orang bisa berkilah, bahwa istilah-istilah seperti 'pikiran' atau 'berpikir', oleh karena ambiguitasnya, tidak dapat membantu merumuskan lingkup 'jiwa'. Namun, bagi hampir semua pengamat, 'berpikir' tampaknya lebih daripada sekadar menerima kesan-kesan (impressions) dari luar; yang
terakhir ini disebut 'pengindraan' (sensations).Ini diterima, baik oleh mereka yang berpendapat bahwa 'berpikir' adalah konsekuensi dari 'mengindra', maupun oleh mereka yang berpendapat bahwa 'pikiran' tidak tergantung pada 'indra'. Bagi kedua pihak, 'berpikir' adalah melampaui 'mengindra', baik sebagai elaborasi (perluasan, pendalaman) dari bahan-bahan 'indra', maupun sebagai pemahaman akan hal-hal yang sepenuhnya berada di luar jangkauan indra.

(2) Asumsi kedua yang tampaknya mendasari semua konsep 'jiwa' adalah asumsi tentang 'pengetahuan' (knowledge) atau 'tahu' (knowing). Ini bisa dipersoalkan, bahwa jika ada pengindraan tanpa pikiran, penilaian atau penalaran apa pun, setidak-tidaknya akan ada suatu bentuk pengetahuan yang rudimenter -- suatu kesadaran (consciousness atau awareness) akan sesuatu. Jika ini diterima, maka pembedaan antara kebenaran dan kepalsuan, dan perbedaan antara pengetahuan, kesalahan, dan ketidaktahuan, atau antara pengetahuan, kepercayaan, dan opini tidak berlaku bagi pengindraan tanpa pikiran. Setiap 'pengetahuan' yang melibatkan pembedaan-pembedaan ini tampaknya menyiratkan adanya 'jiwa' seperti juga menyiratkan adanya 'pikiran'. Ada implikasi lebih jauh dari 'jiwa', yakni adanya 'pengetahuan-diri' (self-knowledge). 'Pengindraan' mungkin adalah 'kesadaran' tentang suatu obyek, dan itu berarti suatu bentuk 'tahu'. Tetapi, orang tidak pernah melihat bahwa 'indra' dapat 'mengindra' atau 'menyadari' dirinya sendiri.

'Pikiran' tampaknya tidak hanya mampu 'merenungkan hal-hal di luar dirinya' (reflective),melainkan juga mampu 'merenungkan dirinya sendiri' (reflexive). merenungkan hakikat 'berpikir' itu sendiri, dan menyusun teori tentang 'jiwa' atau 'batin'. Kemampuan 'merenungkan diri sendiri' ini tampaknya juga merupakan unsur yang ada dalam semua konsep tentang 'jiwa'. Ini kadang-kadang disebut "the reflexivity of the intellect", "the reflexive power of the understanding", "the ability of the understanding to reflect upon its own acts", atau "self-consciousness". Di dalam suatu dunia tanpa 'self-consciousness' atau 'self-knowledge', mungkin tidak akan timbul konsep 'jiwa'.

(3) Asumsi ketiga adalah tentang 'tujuan' (purpose) atau 'niat' (intention). Ini berarti 'merencanakan suatu rangkaian tindakan dengan mengetahui lebih dulu (foreknowledge) tujuannya', atau 'bertindak dengan cara apa pun untuk mencapai suatu tujuan yang diinginkan dan dibayangkan lebih dulu.' (Fenomena 'keinginan' (desire) --tanpa pembatasan lebih lanjut-- itu
sendiri tidak menunjukkan adanya 'jiwa'. Menurut teori 'keinginan alamiah' (natural desire), misalnya, kecenderungan alamiah dari benda-benda yang tidak hidup (inanimate) atau tidak bisa mengindra (insensitive), tetap merupakan ekspresi dari keinginan. 'Tujuan' atau 'niat' di atas bukan dalam pengertian 'keinginan' seperti ini.)

Pada tingkat perilaku benda-benda hiduplah adanya 'tujuan' membutuhkan suatu faktor yang mengatasi 'indra', dan juga mengatasi sekadar 'gairah' (passions), yang menuntut pemuasan sesaat. Faktor itu, yang mengarahkan perilaku menuju suatu tujuan tertentu, kadang-kadang disebut 'daya kemauan' (the faculty of will), 'keinginan rasional' atau 'nafsu intelektual'. Kadang-kadang dianggap sebagai 'tindakan berkehendak' (the act of willing), yang bersama-sama dengan 'berpikir', merupakan dua kegiatan utama dari ‘jiwa'. Kadang-kadang 'bertujuan' itu sendiri dianggap sebagai intisari kejiwaan.

Ketiga asumsi di atas --pikiran, pengetahuan atau pengetahuan-diri, dan tujuan-- ada dalam semua teori tentang 'jiwa', bahkan teori tentang 'jiwa' itu harus dikembangkan lebih lanjut untuk dapat mencakup ketiga asumsi itu secara tuntas. Dari pengembangan ini muncullah konflik antara berbagai teori 'jiwa', yang mempersoalkan bagaimana struktur 'jiwa', apa bagian-bagiannya, apa yang tidak termasuk di dalamnya, dan menjadi bagian dari apa 'jiwa' itu; dan bukan itu saja. Namun, persamaan-persamaan di antara berbagai teori 'jiwa' itu memungkinkan
diajukannya pertanyaan-pertanyaan berikut:

Bagaimana 'jiwa' bekerja? Bagaimana 'jiwa' melaksanakan tugasnya? Apa saja kelebihan dan kekurangan 'jiwa'? Bagaimana hubungan 'jiwa' dengan 'materi', hubungan dengan organ-organ tubuh, hubungan dengan berbagai kondisi material, hubungan satu 'jiwa' dengan 'jiwa' lain? Apakah 'jiwa' sama-sama dimiliki oleh manusia dan binatang? Atau apakah 'jiwa' manusia berbeda tegas dengan 'jiwa' binatang? Adakah 'jiwa-jiwa' atau satu 'jiwa' yang berada terpisah dari manusia dan seluruh kehidupan jasmaniah?

Apakah batas-batas dari 'kecerdasan buatan' (artificial intelligence), yakni kemampuan sebuah mesin untuk melakukan fungsi-fungsi yang biasanya dikaitkan dengan 'jiwa'? Kejelasan dari pendirian yang dianut dalam perdebatan ini sedikit banyak tergantung pada konsep-konsep yang saling bertentangan tentang 'jiwa manusia', yang dari situ pertanyaan-pertanyaan di atas berkembang. Di sini, temuan-temuan di bidang teori pengetahuan (epistemologi), metafisika, logika, etika, dan filsafat agama semuanya relevan secara timbal-balik dengan filsafat 'jiwa'. Di lain pihak, kaitan timbal-balik ini juga terjadi dengan disiplin-disiplin empiris seperti ilmu syaraf,
psikologi, sosiologi dan sejarah.

Tidak ada komentar: